Sabtu, 28 Desember 2013

Apa Kata Bintang?

Kaum remaja yang sok gaul, meski telah lengkap dengan busana, gaya rambut, dan asesoris, masih saja belum pede jika tidak melihat ramalan bintangnya di koran, tv, atau internet. Tentang nasibnyam, keuangan, asmara, dan hari baik. Seolah mereka yakin betul, bintangnya lebih tahuntentang masa depan hidupnya. Penyedia jasa ramalan pun semakin mudah di akses. Hotline telpon tarif premium banyak yang menjajakan “apa kata bintang” yang siap didengar kapan saja, dimana saja, oleh siapa saja.     
Warisan Kuno
Ramalan bintang, di sebut juga astrologi, menyandarkan pada peredaran bintang, planet, dan matahari pada orbit imajiner yang mengelilingi bumi. Ada dua belas jenis zodiak yang masing-masing memiliki rentang waktu satu bulan. Waktu ini di tentukan berdasarkan posisi bintang tersebut dengan matahari. Para astrolog percaya bahwa manusia dilahirkan di bawah naungan salah satu bintang tersebut yang bertindak sebagai pembuat karakter pribadi dan nasib manusia. Misalnya, seorang yang lahir 23 Oktober- 21 November ada di bawah naungan bintang Skorpio yang bersifat air dan di pengaruhi planet pluto.
Microsoft Encarta Reference Library 2003 menyebutkan, zodiak berasal dari dataran rendah Mesopotamia, daratan di antara sungai Tigris dan Eufrat, pada masa Babilonia kuno (Kini Irak Tenggara) kira-kira 2000 tahun sebelum masehi. Antara tahun 600 SM dan 200 SM, Mereka mengembangkan suatu sistem untuk menggambar horoskop perorangan. Orang Yunani dan Romawi memunyai andil besar dalam perkembangan astrologi. Sampai sekarang nama-nama Romawi bagi planet-planet itu masih digunakan.
Bintang Tak Pernah Tahu.
Praktek-praktek ramalan bintang warisan kuno tersebut juga berkembang pada zaman keemasan islam. Sehingga kita bisa mendapatkan komentar para ulama tabi’in tentangnya. Imam al-Bukhari di dalam shaihnya menyebutkan bahwa Qatadah berkata :
“Sesungguhnya Allah menjadikan bintang-bintang itu hanya untuk hikmah. Dia menjadikannya sebagai hiasan langit, sebagai penunjuk arah dan sebagai pelempar setan. Barangsiapa berpendapat selain itu, maka benar-benar telah berkata menurut pikirannya sendiri, salah persepsi serta memaksakan sesuatu yang tidak dia ketahui ilmunya. Sungguh, ada orang-orang yang tidak mengetahui agama Allah, mereka menjadikan bintang-bintang itu sebagai sarana untuk meramal. Seperti mengatakan barangsiapa yang menikah ketika posisi bintang anu di anu maka akan begini dan begini, barangsiapa yang melakukan perjalanan ketika posisi bintang anu di sini dan di situ maka akan begini....padahal bintang-bintang itu tak tahu menahu tentang perkara ghaib, begitu pun dengan binatang-bintang (yang dianggap orang tanda sia) dan juga burung. Jika ada makhluk-makhluk yang mengetahui perkara yang ghaib, tentulah Adam mengetahuinya karena dia di ciptakan Allah dengan tangan-Nya, Dia memerintahkan para malaikat bersujud kepada-nya, Dia memerintahkan para bersujud kepadanya dan Dia megajarkan kepada Adam nama segala sesuatu.”
Adapun ayat yang menunjukkan tentang tiga hikmah di ciptakannya bintang adalah firman Allah :
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan,” (Q.S. Al-Mulk : 5)
Dan Firman-Nya :
“dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk jalan.” (Q.S. An-Nal :16)
Katakan : “AKU TAK PERCAYA!”
Boleh percaya boleh tidak, begitulah bunyi provokasi halus untuk berkilah dari tuduhan syirik dan khufarat. Adapun kita, mestinya dengan lantang mengatakan tidak percaya. Bukan saja karena banyak ramalan yang tidak “nembus” , atau bahasa astrolog yang terkesan samar dan menggunakan bahasa umum sehingga bisa ditafsirkan macam-macam oleh konsumen, akan tetapi karena ilmu nujum itu termasuk cabang dari ilmu sihir yang dilarang. Nabi saw bersabda :
“Barangsiapa yang mengambil sesuatu dari ilmu nujum, maka sungguh dia telah mengambil satu cabang dari sihir.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad.)
Astrolog yang meramal dengan bintang, di hukumi sama dengan dukun dan paranormal, barangsiapa bertanya kepadanya maka shalatnya tidak terima selama empat puluh hari empat puluh malam, dan barangsiapa yang bertanya lalu membenarkannyam, maka dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad saw.

Jika kita sedikit saja mau berpikir, maka tak ada alasan sama sekali untuk membenarkan segala bentuk ramalan, apalagi ramalan bintang. Sebab tak ada dasar ilmiahnya sama sekali. Para peramal hanya mendasarkan pada prasangkanya sendiri, tak didasari ilmu. Jika saja ada dan ini pasti tidak ada dasar ilmu yang mendasari, maka tidak akan ada penafsiran yang bertolak belakang antara satu peramal dengan peramal lainnya. Maka yang ada pasti ketidakcocokan antara ramalan dengan kenyataan. Masuk akalkah bila jumlah manusia yang hampir 5 milyar ini bisa diramalkan masa depannya hanya dengan 12 bintang??? Artinya setiap harinya ada 416.666.667 orang yang bernasib sama? Begitulah, kelakuan orang musyrik selalu bertentangan dengan fitrah yang suci, logika yang sehat dan nash-nash syari, Wallahualam... by @destya11 (in twitter)

Pakaian Dusta

Banyak manusia memuji kebaikan Daud at-Tha’i , mendengar semua itu Daud berkata, “Seandainya ,mereka mengetahui sebagian keadaan kami, niscaya tidak ada satu lidah pun yang sudi menyebutkan kebaikan kami selama-lamanya. “Sedang Muhammad bin Wasi’ berkata pada kesempatan yang lain,”Andaikan dosa-dosa itu mengeluarkan bau,niscaya tidak seorangpun yang sanggup hidup berdekatan denganku.”
Ucapan-ucapan luar biasa ini adalah cerminan kerendahan hati yang jujur. Kita bisa melihat di mana posisi kita di banding mereka. Kemudian lebih ‘tahu diri’ bahwa seharusnya kitalah yang lebih pantas merasa rendah di banding mereka. Karena kita sebenarnya jauh lebih berbau, namun tidak pernah merasa malu setiap kita membusung dan kepala kita membesar karena pujian.
Inilah kisah tentang hamba-hamba pilihan yang tahu dan menyadari cacat diri. Buah ma’rifat mereka terhadap pengawasan Allah yang sempurna. Yang mengawasi semua yang tersembunyi saat manusia hanya bisa mengawasi apa yang tampak. Yang mengawasi apa yang batin saat manusia hanya mengawasi yang lahir. Allah berfirma, “...Dan ketahuilah bahwanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya.”
Inilah rahasia itu. Bahwa kita tidak akan pernah bisa mengingkari kata hati akan pengetahuan Allah tentang siapa kita sesungguhnya, meski kita bisa menipu manusia sekitar. Namun sayang, kita tidak pernah takut kelak Allah akan membuka semua topeng. Padahal Dia telah berfirman, “ Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.”
Inilah yang membuat pujian dan kekaguman orang lain berharga sangat mahal. Menutupi pandangan dari pakaian dusta yang kita kenakan guna menampilkan citra diri palsu. Saat itulah ia menjadi jebakan manis yang berakhir dengan siksa di sisi-Nya. Belum lagi ‘perang’ yang selalu bergejolak dalam diri kita. Yang melahirkan kegelisahan dan menihilkan rasa aman karena hakikatnya tidak ada nilai baik, jika kita bisa menilai diri secara objektif. Konflik batin antara fakta bahwa kita menipu diri dengan rasa bangga beroleh pujian. Dan ini berlangsung selamanya.
Akan halnya hamba-hamba terpilih itu, mereka sadar tidak ada lagi tempat bersembunyi. Batin mereka selalu menghadirkan kesadaran penglihatan Allah, hal yang membantu mereka memunculkan taharruj (perasaan berdosa) dalam diri. Di samping membukakan pintu tawadhu’, keadaan ini akan membuat mereka mampu melawan kemauan yang salah dan memaksa diri melakukan hal-hal yang di benci hawa nafsu.
Pakaian hakikat yang nereka kenakan membuat mereka bisa sepeerti Yunus bin ‘Ubait yang berkata, “Saya menemukan seratus sifat baik, yang saya kira tidak ada satupun terdapat pada pada diri.” Bagaimana kita??? Wallahualam... by @destya11 (in twitter)


Jagalah AIB Saudaramu!!!

Suatu hari, ketika pulang dari kuliah kebetulan lewat di depan ibu-ibu yang sedang asyik ngobrol. Tidak sengaja, saya mendengar apa yang mereka bicarakan. Ya, apalagi kalau bukan membicarakan tentang berita yang sedang heboh di kampung ini. (Tentulah kejelekan orang lain). Begitulah mereka kalau kerjaannya sudah beres.
Kadang terbesit dalam pikiran saya mengapa kau hal negatif (aib) itu cepat sekali menyebarnya? Belum lagi kalau di tambah ini dan itu. Astaufirullah!
Manusia diciptakan oleh Allah tidak ada yang sempurna. Sebaik apapun atau sesempurna apapun seseorang pastilah ada kekurangannya. Itu sudah menjadi sunatullah. Begitu juga dengan aib. Pastilah setiap orang mempunyai aib. Kalaupun kita bisa menyembunyikan aib itu pasti akan kita simpan di tempat yang paling rapat, paling rahasia. Tak rela seorang pun mengetahui hal tersebut. Namun apakah kita bisa menyimpannua? Ya, mungkin terhadap manusia saja. Tapi kepada Allah...?
Kalau kita mengaku sebagai seorang muslim yang baik, maka hendaknya kita bisa menjaga aib sesama muslim. Sebelum berbicara lebih jauh tentang aib seseorang, hendaknya kita intropeksi diri. Bagaimana kalau menjadi bahan pembicaraan itu kita, teman baik kita, saudar atau keluarga kita??? Bagaimanakah perasaan kita???
Islam mengajarkan kita untuk saling menjaga aib sesama saudar. Rasulullah saw bersabda,
“Barangsiapa menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya baik di dunia maupun di akhirat.” (H.R. Muslim)
Bayangkan Allah yang akan menutupnya. Dan itu adalah janji Allah yang di jami pasti sellau benar. Karena kita tahu bahwa sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah. Sebenar—benar janji adalah janji Allah.

Dan ketahuilah bahwa orang islam adalah orang yang menyelamatkan orang-orang islam yang lain dari kejahatan tangan dan lidah.
by : @destya11 (in twitter)

Kekuatan Pikiran

Mungkin,kita pernah atau sering merasa kecewa dan menyesal terhadap apa yang telah kita lakukan. Baik karena perbuatan itu sebuah dosa dan maksiat, atau sebuah kebiasaan buruk yang sejujurnya ingin kita hilangkan. Namun setiap kalinya, hal itu terus terulang, dan kita terus merasa kecewa dan bersalah.
Pernahkah kita ingin berhenti merokok, makan berlebihan, menggigit jari-jari kuku, menunda pekerjaan atau mengulang pekerjaan atau mengulang perbuatan-perbuatan lainnya yang ingin kita hentikan? Alih-alih berhenti, keinginan untuk melakukannya mungkin malah semakit menguat.
Bukankah ketika berada dalam ruangan yang penuh orang asing, kita merokok untuk mengusir kegelisahan? Atau saat kita merasa stress, keinginan untuk makan banyak, mungkin berlemak manis, menjadi sulit di tolak? Demikian pula hal-hal lain yang terus berulang itu.
Sebenarnya, tidak ada manusia yang terlahir dengan kondisi seperti ini, memiliki begitu banyak kebiasaan buruk atau tidak efektif. Sebagaimana keahlian lain yang kita pelajari dalam masa pertumbuhan seperti berbicara, makan dan berjalan, kebiasaan-kebiasaan buruk juga kita pelajari dengan mengamati dan meniru orang lain karena terlihat bagus dan baik. Sehingga kita merasa senang,tenang dan nyaman saat mengulanginya.
Dalam perkembangnnya, kebiasaan-kebiasaan yang sudah terbentuk, baik maupun buruk, mengulang akan terus dipraktikkan meski alasan untuk melakukan tidak ada lagi. Bahkan ketika tidak ada lagi model untuk ditiru dan mengajak melakukannya, atau ketika ia tidak lagi mendatangkan perasaan nyaman.
Memang, saat melakukannya dulu, kita mendapatkan rasa nyaman dan tenang. Dan itu terekama dengan baik sebagai informasi di dalam otak kita. Sehingga setiap kali kita menghadapi situasi yang sama, otak kita menyarankan dan mendorong kita untuk melakukan tindakan-tindakan yang familiar bagi kita. Otak menginformasikan bahwa tindakan-tindakan itulah yang terbaik untuk dilakukan guna mengurangi ketidaknyamanan.
Pertanyaannya sekarang adalah, Bagaimana cara mengatasinya?
Jawabnya (InsyaAllah), menggunakan kekuatan otak kita. Berpikir dengan cara berbeda dan merasakan hasilnya.
Marilah kita perhatikan, kebiasaan-kebiasaan buruk kita yang selalu berulang, sebenarnya karena kita tidak pernah (bersungguh-sungguh) ingin merubahnya. Kita bahkan tidak mencoba merubah cara kita berpikir tentang hal itu. Sehingga kalau tindakan-tindakan yang kita lakukan selalu sama, bagaimana hasilnya akan berbeda? Kita bisa berubah, hanya tidak tahu caranya.
Padahal jika kita berpikir dengan cara berbeda, hasil yang akan kita dapatkan juga akan berbeda, sebab tindakan-tindakan yang kita pilihkan berbeda. Faktanya, cara kita berpikir akan menentukan cara kita berkomunikasi dengan pihak lain dan bertindak. Perbedaan pola pikir akan menyebabkan perbedaan  tindakan-tindakan yang diambil, sehingga hasil yang akan didapatkan juga berbeda.
Mungkin kita belum tahu bahwa otak kita memiliki kekuatan dasyat yang bisa di manfaatkan untuk merubah kehidupan kita. Penelitian para ahli malah menunjukkan bahwa 96 % kekuatan otak ini masih di abaikan. Artinya, potensi otak manusia yang pernah di teliliti terpakai hanya sekitar 4 % saja.
Kekuatan otak ini ada dua, kekuatan berilmu dan kekuatan berkehendak. Dua kekuatan yang seharusnya kita manfaatkan, bukan sekedar kita ketahui. Yang pertama kekuatan berpikir, kekuatannya tergantung pada informasi (ilmu) yang masuk, pengalaman dan cara berpikir. Sedang kekuatan berkendak tergantung pada yakin, sabar dan keteguhan memegang prinsip.
Artinya, semakin sedikit ilmu yang kita miliki, berarti semakin sedikit kemungkinan kita menyadari kesalahan yang kita lakukan. Bukankah kesadaran akan kesalahan dari kebiasaan-kebiasaan buruk kita itu, karena ilmu yang kita dapatkan belakangan bahwa semua itu memang buruk adanya? Sedang mereka yang tidak berpendapat hal-hal itu sebagai sesuatu yang buruk tentu saja tidak akan merubahnya. Maka setiap kali kita berhenti mencari ilmu dan menggali informasi, berhenti pula kekuatan otak kita menyodorkan pilihan yang lain di luar kebiasaan kita.
Demikian juga, semakin sedikit pengalaman kebaikan yang kita dapatkan selama masa pertumbuhan, semakin berat perjuangan yang kita butuhkan untuk berubah. Bukankah kita sering gagal merasakan manisnya ibadah, semisal shalat dan qiraatul Qur’an karena terlanjur dengan senda gurau dan permainan?
Setelah pilihan berubah di tetapkan, tugas selanjutnya adalah mempertebal keyakinan, keteguhan dan kesabaran. Sebab seringkali perubahan itu membutuhkan waktu yang lama, menemukan hambatan yang tidak sedikit dan pilihan yang tidak populer.
Kesabaran kita perlukan karena waktu yang dibutuhkan untuk berubah seringkali lama. Keyakinan kita butuhkan guna mengatasi berbagai hambatan yang muncul, utamanya perasaan tidak nyaman yang muncul dalam diri kita karena memulai kebiasaan-kebiasaan baru.
Sedang keteguhan kita perlukan guna mengatasi komentar orang lain yang tidak mendukung perubahan itu, juga karena ia bukan pilihan yang populer. Bukankah hanya ikan mati yang berenang mengikuti arus?
Langkah selanjutnya segera memulai perubahan itu. Kita harus yakin bahwa hidup kita akan berubah jika kita berubah, bukan saat orang lain yang berubah. Berpikir positif bahwa kita mampu jika kita memang ingin berubah harus kita tanamkan kuat-kuat. Sebab berpikir negatif dan pesimis hakikatnya adalah sabotase terhadap diri kita sendiri.
Jangan lupa, kekuatan berdo’a kepada Allah sebagai modal besar perubahan itu. Bukankah hanya ridha-Nya yang kita inginkan? Bahkan kesadaran berubah itupun muncul saat kita menyadari ada terlalu banyak hal tidak Dia ridhai dalam kehidupan kita, yang karenanya kita ingin berubah? Kita yakin, Dia pasti menolong hambanya-Nya yang bermujahan di jalan-Nya. Bismillah, mari kita coba!


Dosa Versus Taubat

Allah swt menciptakan manusia dalam keadaan fitrah/ suci. Dalam perjalanannya kemudian banyak manusia yang tersesat dan terjerumus dalam jurang kemaksiatan, yang menghasilkan dosa kecil maupun besar.
Dosa-dosa, baik yang sudah diwujudkan dalam kehidupan nyata maupun yang masih terpendam dalam jiwadan perasaannya, sesungguhnya merupakan efek dari tipu daya setan yang mempengaruhi dan menguasai jiwa manusia. Hal ini di karenakan tidak adanya atau kurang kokohnya benteng pertahanan dalam diri manusia itu sendiri. Allah swt berfirman :
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang di beri rahmad oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Shad : 82)
Bila kita telah melakukan perbuatan dosa, maka yang perlu dilakukan adalah sesegera mungkin bertaubat. Allah swt sengaja menyapa hamba-hamba-Nya yang melampaui batas seperti dalam firman-Nya.
“Katakanlah : ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampai batas terhadap terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmad Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Za- Zumat : 53)
Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitab “ At –Taubah”, yang di maksud taubat adalah menarik diri dari suatu keburukan dan kembali pada suatu tindakan yang dapat membawa seseorang kepada Allah swt.
Taubat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, taubat wajib yaitu taubat dari kemaksiatan. Kedua, taubat sunnah yaitu taubat yang di anjurkan untuk meninggalkan perbuatan yang tidak di sukai (makruh). Bagi siapa yang melakukan taubat jenis pertama, maka ia termasuk orang baik dan adil. Sedangkan bagi yang melakukan kedua jenis taubat tersebut, maka ia termasuk dalam orang yang lebih dahulu masuk jannah dan di dekatkan Allah swt. Sedangkan siapa tidak melakukan taubat jenis pertama, maka ia termasuk orang yang zalim. Yang perlu di catat di sini ialah, kita tidak boleh bertaubat dari kebaikan (berhenti melakukan kebaikan). Maka barangsiapa yang melakukannya dengan sadar, ia termasuk dalam golongan orang-orang yang fasik.
Lalu apakah sama bagi kita bertaubat sekarang dengan bertaubat esok atau lusa?
Allah swt berfirman,
“Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkah (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hadid : 10)

Singkatnya, selama hamba itu bertaubat, memohon ampunan dan menyesali perbuatan (taubat nasuha), maka Allah akan mengampuninya. Maka marilah berlomba-lomba melakukan kebaikan dan segera bertaubat bila terlanjur melakukan kesalahan.Wallahualam.

Suara Dari Kuburan

Hidup adalah untuk beribadah, kita mengerti itu. Kepada Allah saja, tanpa bagi ‘apa atau siapa’ selain-Nya. Sebab dia Esa yang tidak membutuhkan sekutu dalam segala hal. Dia berfirman, “Aku tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan sebuah amalan dengan mempersekutukan selain-Ku padanya, maka amalan itu bagi yang dia persekutukan. Dan Aku berlepas diri daripadanya.” (Hadis Qudsi Ibnu Majah : 4192)
Maka kemudian Dia wajibkan ke keikhlasan sebagai syarat penerimaan amal shalih. Dia inginkan ketaatan dan ketudukan kita yang bersih dan murni. Terbebas dari semua kotoran dan tendensi pembelok arah penghambaan. Dia akan melihat siapa di antara kita yang benar-benar ingin menyembah-Nya. Mempersembahkan amalan terbaik yang paling benar dan paling ikhlas.
Namun, sungguh sulit nian! Sebab tidak ada amalan tanpa niat. Sedang setiap kita ingin, sedang dan telah bertaubat, batin kita selalu berperang. Lezatnya puja-puji, penghargaan- meski sekedar ucapan terimakasih dan penerimaan manusia, sering melenakan kita untuk tergesa mencari hasil dalam beramal. Kemudian kita melakukan amalam riya’ sebab merindu kekuasaan, kedudukan dan harta. Sedang hati kita masih saja penuh penyakit. Terseok-seok memayahkan diri di dunia, sedang akhirat menyediakan siksa.
Alangkah beratnya! Sebab, seperti nasihat Utsman bin ‘Affan, Ikhlas adalah melihat penglihatan Allah dan bukan yang lain. Sedang Allah melihat hati kita, bukan penampilan dan wujud fisik yang menawan. Fudhail bin Iyadh berkata, “Sesungguhnya, yang diinginkan Allah darimu adalah niat dan keinginanmu. “ Sahl bin Abdillah at-Tasturi menyebut ikhlas sebagai amalan yang paling berat. Alasannya, sebab hati tidak mendapatkan bagian.
Ikhlas adalah jalan keselamatan, pembebas hati dari ibadah ritual yang memenjarakan fisik, sebab ia adalahnya ruhnya. Bukankah banyak yang berpuasa dan shalat malam fisik mereka, namun tidak beroleh apa-apa selain lapar, dahaga dan berjaga-jaga? Atau darah-darah dan daging binatang korban yang tidak sampai kepada Allah, meski manusia banyak berdecak menyaksikannya? Sebab yang akan sampai adalah takwa kita, sedang takwa ada di dalam hati!
Hamba yang mengharap ridha Allah, akan melihat manusia lain seperti penghuni kubur yang tidak memberi manfaat dan madharat. Suara-suara mereka kalaulah ada meskinya tidak menakutkan, sehingga mempengaruhi niat awal hamba saat berbuat. Suara-suara yang mungkin menggemakan kebencian. Namun, bukankah Allah telah berfirman, “ Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya,” (Q.S. Al-Mukmin : 14)

Sungguh, keikhlasan adalah rahmad Allah bagi hamba pilihan. Persoalannya, siapa yang akan menyambutnya?

Jumat, 27 Desember 2013

Serapuh Hati Tanpa Keyakinan (Cerpen)

“Assalamualaikum”.
Kujabat tangan akhwat karibku satu persatu. Tidak ada yang mau ketinggalan jam pertama pagi ini, takut sama dosennya yang killer. “Reva kemana, kok belum hadir?” tanyaku. Tapi tidak ada yang tahu. Biasanya jika diantara kami tidak hadir kuliah selalu memberikan informasi pada yang lain.
Jama delapan tepat, dosen masuk dan langsung memberikan kuliah. Suasana kelas pun berubah. Semua mata tertuju pada layar proyektor, meski ada yang sambil berjuang menahan kantuk. Sementara konsentrasiku sedikit terganggu dengan perasaan yang bertanya-tanya. Kepada Reva???
Kami adalah sembilan bersahabat. Di atas jalan-Nya Kami bersaudara dan bertekad menyempurnakan ketaatan. Alhamdulillah, Allah Ta’ala menunjuki kami pada akidah dan manhaj salafush shalih. Kami berusaha untuk melazimkan sunnah dalam keseharian. Banyak yang mengatakan kami eksklusif dan ekstrim. Mereka memandang sinis pada kami karena pakaian dan cara pergaulan kami. Ada saja sindiran melecehkan. “Awas, manusia kelelewar leawat!” atau “Bau surga nih!”, dengan es-be. Ya...mungkin inilah resiko jika ingin berkomitemen dengan syariat. Lagian boleh jadi karena mereka belum paham. Kami berusaha sabar dan sebisa mungkin menjelaskan terutama kepada mahasiswi yang mengaku muslim tetapi memilih ‘gaul’ dalam berperilaku dan berpakaian.
Dua jam kuliah berlalu, tak banyak waktu terbuang dari awal sampai akhir. Soal paham atau tidak, itu masalah lain. Ya... begitulah mungkin standar dan gaya pendidikan kita. Yang penting target beban silabus terpenuhi, Selesai! Kelas tanpa hati..! Mahasiswa berhamburan keluar, padahal dosen belum beranjak mengemasi bahan kuliah yang baru sampai di sampaikan. Seperti biasanya, kami memilih keluar terakhir agar tak perlu berdesakan. Setelah semua keluar, di barisan kursi bagian depan ada sesosok wanita berjubah serba gelap lengkap dengan cadar. Mungkin dia tadi masuk kelas agak mepet dengan waktu mulai jam kuliah. Kami menduga dia adalah senior yang mengulang mata kuliah. Terdorong ingin menyapa, saya menghampirinya.
“Assalamualaikum, ukty” Sapaku sambil menjabat tangannya/
“Waalaikumsalam warahmatullah.” Jawabnya.
Saya mencoba memperhatikan matanya, siapa tahu saya bisa mengenali wajah di balik cadar itu.” “Kenapa, ukhty? Kaget ya? Saya Reva. Lho.”,katanya.
Spontan saya kaget bukan main.
“Betul, Kamu Reva?”, tanyaku hampir tak percaya.
Dengan lembut ia menganggukkan kepala. Saat itu saya langsung memeluknya sambil tak henti mengucapkan syukur dan memuji Allah Ta’ala. Tak terasa air mata mengalir membasahi jilbabnya. Sahabatku yang lain ikut menangis dan turut memeluknya.
Reva berbisik lirih , “Doakan ya ukty, agar saya istiqamah selalu”
“Amin...Insya Allah!, jawabku.
Reva yang cukup pandai berargumen jika berdiskusi mengenai islam, walaupun jawaban-jawabannya lebih sering dilandasi pendapat akalnya, Reva yang saya kenal sebagai mutarabbi salah satu liqo’ di sebuah jama’ahnya terdahulu, Reva yang di abtara kami ber-sembilan, dialah yang masih cenderung bebas dalam bergaul dan berpakaian, Reva yang terbiasa dan longgar dalam bergaul dengan lawan jenis, saat ini dia telah berubah. Ia menjelma menjadi seorang akhwat yang rajin mengikuti ta’lim dan kegiatan dAkwah lainnya.
Waktu berlalu beberapa minggu, Reva semakin dekat denganku. Ia sering mabit di kostku dan sering curhat tentang keadaannya. Kami saling menasehati dan memberi dorongan satu sama lain untuk tetap istiqamah. Kami selalu berusaha hadir bersama dalam kajian, seminar, bedah buku, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Setiap ada informasi kegiatan, kami selalu ingin menjadi yang pertama hadir di majelis-majelis tersebut. Kami seperti orang yang kehausan ilmu, dan yang demikian makin mempererat hubungan kami.
Selang beberapa minggu kemudian, Reva tambah sering menginap di kost saya. Reva datang dengan membawa cerita-cerita tentang keadaannya semenjak ia memakai pakaian syar’i.. Ternyata  keluarga dan kerabatnya menolak keras pilihannya. Menurut mereka, pakaian seperti itu identit dengan apa yang mereka sebut “Teroris”. Sejak keluarganya tahu, semua biaya hidup dan kuliahnya di hentikan. “Sabar ya Ukty, kemudahan pastikan datang. Ujia tak kan selamanya. Hanya sekejap kemudian lewat, jika saja kita tetap bertahan. Jangan pernah menyerah!”, Saya mencoba menasehatinya. Untuk beberapa hari kemudian, Reva masih bertahan.
Pada malam berikutnya Reva datang lagi dan menyatakan ingin tinggal di kost untuk beberapa hari. Ia mengatakan sudah tak punya uang lagi. Jangankan kuliah, sedangkan untuk makan saja sudah tiada yang tersisa. Saya tidak menyangka ada orangtua yang setega itu.
“Untuk apa saya berpakaian begini, kalau saya harus mati kelaparan. Lagian gara-gara pakaian ini, saya tidak bisa pergi ke tempat-tempatyang saya senangi, pergaulanku jadi terbatas, kuliahku terhambat, dan segala macam kesulitan harus saya tanggung!”jawabnya setelah mendengar nasihat saya. Tidak saya sangka ia kan berkata seperti itu.
“Astaufirullah..., beristighfarlah ukhty atas apa yang barusan kau ucapkan. Ini semua adalah ujian dari Allah. Sabarlah! Innanashrallahi qariib!” Saya berusaha menasehatinya lagi.
“Hah, persetan dengan semua itu, buktinya mana pertolongan Allah?  Mana kemudahan yang di janjikan Allah?” Katanya dengan mata memerah. Emosinya semakin tak terkendali, hampir saja hali itu juga memancing emosi saya. Tapi saya berusaha untuk tetap bersabar menghadapinya. Sampai akhirnya kami tidur dengan membawa pikiran masing-masing.
“Benarkah yang di depan pandanganku itu adalah Reva?” dalam hati saya bertanya. Saya usap mata berkali-kali. Dari kejauhan ia nampak menggunakan pakaian yang ketat dan seronok. Benar, ia adalah Reva. Tapi di man gerangan pakain syarinya kemarin. Bahkan bekasnya sudah tidak keliatan lagi. Hampir saja saya tak percaya yang di depanmataku adalah Reva, sahabat yang sangat kusayangi di atas jalan Allah ini. Saya coba mengingatkan lagi, tapi justru umpatan kembali berhamburan dari lisannya. Sejak saat itu ia semakin jauh dariku.
Hari demi hari saya saksikan bagaimana Reva sekarang. Selalu terbayang semua kenangan yang pernah kami lalui. Saat-saat bermajelis bersama, saat-saat menghadiri kegiatan keislaman bersama-sama, saat-saat berdiskusi bersama,curhat...semua itu tinggal kenangan. Entah sekarang, dia sibuk di mana dan dengan siapa. Saya hanya bisa bergarap, semoga Allah mengembalikan Reva ke atas jalan-Nya.

Ya Allah, Engkaulah dzat yang membolak-balikkan hati. Tetapkan hati ini dalam agama-Mu, dan berilah kami kekuatan agar bisa istiqamah dalam agama-Mu. Dan janganlah Engkau cabut hidayah ini. Karena jika Engkau mencabutnya, maka pastilah hamba menjadi orang yang sangat merugi.

Kamis, 26 Desember 2013

Saatnya Berbagi


Bagaimanapun, mutiara tetaplah indah, sutra tetaplah halus, madu tetaplah manis dan misik tetaplah wangi. Kecuali kita menimbunnya dengan lumpur, menyentuhnya dengan jemari lumpuh, meminumnya dengan racun, atau mencampurnya dengan bau bangkai.
Seperti itulah kebaikan. Seperti namanya, ia akan memberikan sejuta manfaat bagi siapa saja yang menemuinya. Karena ia adalah pohon yang seketika berbuah. Kilaunya yang indah, sentuhannya yang halus, rasanya yang sedap, dan aromanya yang wangi, menentramkan perasaan, menenangkan pikiran, melapangkan dada dan mendamaikan hati. Dan yang pertama kali merasakannya adalah yang melakukannya. Itu berarti kita, saya dan anda atau mereka yang ada di sana.
Maka, inilah saatnya berbagi. Memberi sedekah kepada si miskin, menolong yang teraniaya, meringankan beban yang menderita, memberi makan orang yang lapar, menjenguk yang sakit, membantu yang membutuhkan dan memohobkan ampun bagi para pendosa. Terutama saat kita di landa resah gelisah! Berbuat kebaikan kepada sesama adalah pencerahan jiwa, yang tidak akan pernah kita sesali.
Ya, Karena kita adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam kehidupan ini. Kita harus mengekspresikan ‘jiwa sosial’ itu secara benar. Dan untuk itu kita harus selektif memilih. Tidak semua bentuk interaksi terpuji dan di ridhai, sebab ada pula bentuk interaksi yang di murkai. Hanya membuahkan dosa dan permusuhan.
Karena itulah islam mengarahkan kaum Muslimin agar secara selektif berta’wun dalam kebaikan dan ketakwaan, berpadu dan menyatukan barisan. Semua itu, selain bentuk penyaluran peran sosial, juga adalah bentuk penanaman rasa cinta kepada sesama dengan benar. Kemudian mendahulukan kepentingan mereka di atas kepentingan pribadi dan cinta sendiri.
Maka, kita tidak heran pada penelitian Sigerman pada 1997, yang menemukan, bahwa berinteraksi dengan komunitas terbesar dapat meningkatkan kebahagiaan manusia hingga 30 %. Sedang dalam penelitian lain di temukan, individu bersosial secara terbuka, cenderung lebih puas dalam hidupnya sekitar 24 % di banding yang tidak berbuat demikian. Sementara Rasul menyebutkan bahwa kebaikan adalah penentraman jiwa.
Pola-pola interaksi sosial yang sehat seperti inilah yang akan melemahkan emosi marah, benci, permusuhan, dan kezhaliman. Di samping bentuk-bentuk pencarian kebahagian inderawi semata, yang semu dan individualistik, karena menjauh dari Allah dan melawan fitrah. Menghilangkan perasaan terpencil dan tertolak yang sangat menyesakkan dada dan membebani pikiran. Menggantikannya dengan pola-pola kasih sayang, cinta, pengorbanana, dan kesetiaan. J


Bahkan Meski Hanya Satu

Karena ada cinta dan benci di dalam hati, ia memberi rasa. Juga menumbuhkan keinginan. Rasa yang membuat hati berpihak pada kebenaran atau kebatilan, dan keinginan yang menjadi pondasi setiap tindakan. Rasa dan keinginan yang menggerakkan.
Tapi kita, adalah makhluk sosial. Yang tidak pernah sendirian. Yang dalam keberpihakan dan pilihan suara hati ke alam nyata. Kita tidak ingin keliru, sebab itu menyamankan. Dan ini sangat manusiawi.
Maka kebenaran, meski sepi pengikut, tidak akan pernah tidak ada pembelanya. Meski ibarat menggenggam bara, yang panas membakar dan membuat luka jiwa dan raga. Pun kebatilan yang nampak nyata, tidak pernah nihil dari pemujanya. Bahkan seringkali melimpah ruah. Yang karenanya tampak indah.
Adakah yang lebih  baik, dari hamba yang selalu mencoba setia kepada Allah dalam keberpihakan hati dan pilihan amal shalihnya? Bahkan ketika memilih sahabat dalam menjalani hidup! Sebab hati kita yang rapuh dan mudah merubah, membutuhkan penolong dan penopang saat menggenggam bara itu. Agar cinta kita kepada kebenaran ini tidak goyah dan berubah. Teman-teman yang shalih adalah unsur penguat yang bermanfaat.
Teman-teman yang shalih adalah juga berkah kehidupan. Bersama mereka langkah-langkah kaki menjadi mantap saat merenungi ayat-ayat Allahdan mereguk hikmah kehidupan. Jiwa tenteram menjalani ujian ibadah yang nampak melelahkan. Juga hari-hari yang berlalu, jauh dari kesia-siaan. Karena pada diri mereka ada makna kebaikan dan kebahagiaan, tanda kebajikan dan kebenaran.
Teman-teman shalih adalah tongkat penuntun di saat lemah, pelita dalam gelap, pencuci jiwa dari kerak-kerak dosa, pemutih hati dari warna-warna jahiliyah, juga peluntur kilau perhiasan palsu dunia yang membuat hidup terasa nyaman dan nikmat karena ketulusan hati dan kasih sayang sejati yang mekar bersemi.
Bersama mereka, kebaikan di tebar sepanjang waktu. Hingga kita tak lagi harus menunggu. Untuk menjadi baik! Sedang kebaikan adalah perisai diri dari kejahatan dan keburukan.
Maka saat kita di benci, dikucilkan, dicemarkan, dipersulit, dianiaya, dan bahkan di usir karena berpihak pada kebenaran, kita tidak boleh sendiri. Kepada merekalah seharusnya kita kembali, sebelum rasa hati kita khianati. Karena merekalah hiburan dalam kesedihan. Tenaga tak berdaya.
Teman shalih adalah karunia Allah dalam hidup kita. Bahkan meski hanya satu, sebab serigala hanya memakan daging domba sendirian. Tapi, di manakah dia kini??? Wallahualam...!



Mencari Air Dalam Api

Adakah kebenaran bisa di tolakkan, bahkan setelah semua bukti-bukti pendukungnya hadir tak terbantahkan? Sufyan bin Uyaniyah menjawab : Bisa. Mungkin karena hawa nafsu, atau mungkin karena kesombongan. Bukankah tidak ada pembuktian sejelas dan segamblang bayan para nabi dan rasul? Lewat lisan mereka, kebenaran dibentangkan di hadapan manusia seterang mentari kemarau di siang hari. Jelasnya mengalahkan semua logika penolakan. Panasnya membakar semua keraguan.
Tapi ini adalah tentang kalbu yang berpenyakit. Yang keliru niat karena keruh oleh kotoran-kotorannya yang mengerak, ujub, iri, dengki, riya’. Menjadikannya gagal mengenali hakikat diri dan gagal mendudukkannya dengan tepat. Bashirahnya menumpul, pikirannya membeku, dan dadanya membusung.
Bermula dari kagum terhadap diri sendiri, merasa besar dan pintar, hebat, dan kuat, kemudian meremehkan manusia yang lain dan menolak al-haq (kebenaran). Manusia-manusia sombong merasa, merekalah standar kebenaran dan keadilan. Apalagi jika al-haq itu, menurutnya menyinggung harga diri, merendahkan martabat dan merugikan dunia. Maka, berpaling dan ingkar adalah sebuag keniscayaan. Mereka tolak al- haq dengan rasio terbatas, analog ngawur, perasaan yang salah atau kepentingan politik.
Apa makna kebenaran bagi manusia-manusia ‘hebat’ ini, jik hukum Allah bisa di lawan dan ajaran rasul bisa di dustakan? Malah, ketika itulah mereka merasa telah menjadi besar dan istimewa! Bukankah mereka adalah sentral kebenaran itu sendiri? Mereka terkena sidrom megalomania! Maka mereka seperti nerakan yang bangga karena berpenghuni manusia-manusia sombong. Atau sperti iblis yang menolak taat kepada Allah. Ketundukan kepada hukum Allah dan ajaran Rasulullah adalah tabu dan perbuatan memalukan. Astagfirullah!
Masihkah penjelasan berguna lagi, jika bagi mereka semua itu tidak pernah ada? Mereka pun gagal bertawadhu’, sebab ruh tawadhu’ adalah penerimaan dan ketundukan kepada al – haq. Maka surga menjadi haram bagi mereka, sebab ia adalah negeri para penyambut dakwah nabi. Bukankh Rasulullah pernah menyatakan, bahwa tidak akan masuk surga, manusia yang memiliki kesombongan di hatinya meski sebesar biji saw? Naudzu billahi min zalik.
Jika mereka merasa terhormat, mulia dan bebas karena penolakan kepada al-haq, maka mereka salah. Salah besar! Mereka telah menempuh jalan yang salah,dan karena itu yakinlah mereka tidak akan pernah mencapainya, meski puji-puji sesama manusia sombong meninggi dan sebutan mereka harum mewangi. Untuk mereka, Allah telah berfirman, “ Aku akan memalingkan orang-orang yang sombong di muka bumi tanpa alasan yang benar dari ayat-ayat-Ku”
Itulah tipuan dan jebakan setan. Ibrahim bin Syaiban pernah berkata, “ Kehormatan ada dalam tawadhu, kemudian ada dalam takwa, sedang kebebasan ada dalam qanaah.” Maka mencari kehormatan dan kemuliaan dari kesombongan, adalah seperti mencari air dalam api, MUSTAHIL ada!!! Wallahualam...


Jangan Memakan Bangkai.

Masih ingat Sumanto “Si Kanibal” yang konon memakan tiga bangkai manusia? Tentu tak satu pun dari kita yang akan meniru melakukankannya. Memakan bangkai manusi! Tapi, sadarkah bahwa kita sering berlaku lebih menjijikkan sari sumanto? Menggunjing sesama muslim, sebagaimana firman Allah, “....Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya....” (Q.S. Al-Hujurat : 12)
Setiap orang yang waras tentu jijik memakan bangkai manusia, terlebih lagi bangkai saudaranya. Walau demikian, tanpa kita sadari, perbuatan tersebut sudah menjadi hal biasa. Bukankah menggunjing orang lain sama dengan memakan daging orang yang sudah mati?? Nauzubillahi min zalik.
Suatu hari ada sahabat yang bertanya kepada Rasulullah saw tentang menggunjing (ghibah), maka beliau menjawab, “Ghibah adalah menceritakan tentang perihal saudarmu terhadap apa ia tidak sukai.” Lalu orang itu bertanya lagi, “Bagaimana jika apa yang saya ceritakan memang benar ada pada dirinya?” Maka beliau bersabda, “Jika yang ada pada dirinya seperti apa yang kamu ceritakan, maka engkau telah meng-ghibahnya, namun jika pada dirinya tidak seperti apa yang engkau ceritaka, maka engkau telah berbuat kebohongan terhadap dirinya.” (H.R. At-Timidzi)
Imam an-Nawawi merinci bahwa yang termasuk ghibah adalah menceritakan seseorang dengan sesuatu yang tidak disenanginya, sama saja apakah hal itu menyangkut masalah dirinya, agamnya, dunianya, jiwanya, fisiknya, akhlaqnya, hartanya, anaknya, orangtuanya, istrinya, pembantu, dan budaknya, sorbannya, pakaiannya, cara jalannya, gerakannnya, senyumannya, raut mukanya, atau selain itu semua yang menyangkut perihal seseorang, baik dilakukan dengan mencibirkan bibir, menyebutkan dengan tulisan, mengisyaratkan dengan mata, tangan atau kepala dan semisalnya.” (al-Adzhar : 476)
Bukankah Rasulullah saw pernah menegur istri yang paling beliau cintai, Aisyah ketia menyebutkan tentang fisik istri beliau yang lain  (Shafiyah) bahwa ia adalah seorang yang bertubuh pendek, lalu beliau bersabda, “Sungguh perkataan yang engkau ucapkan jika di campur dengan air laut niscaya ia akan menjadi busuk.” (H.R. At – Tirmidzi)
Padahal air laut itu tidak akan berbau busuk karena memiliki kadar garam yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan betapa dasyatnya dampak negatif atau keburukan dari perbuatan ghibah itu.
Demikian ghibah itu, ia dapat meruntuhkan kehormatan seseorang yang digunjingkan, karena kehormatan itu buka hanya aurat, namun juga berupa celaan ataupun pujian. Ketika kita menggunjing seseorang, maka pada hakikatnya kita telah menggerogoti kehormatan sedikit demi sedikit. Jangan kita mengira bahwa haramnya zina dan riba lebih besar dari dosanya daripada berbuat ghibah yang dengannya dapat menodai kehormatan dan harga diri sesama muslim.
Tapi ada kalanya menceritakan perbuatan jelek seseorang itu diperbolehhkan dlam syariat Islam, sebagaimana yang di ungkapkan Imam an-Nawawi, yaitu untuk mengadukan kezaliman seseorang pada pihak yang berwenang, dalam rangka meminta fatwa, dalam rangka musyawarah, mencari jodoh, menyebutkan kejelekan seseorang yang terang-terangan berbuat dosa dan menyebut seseorang dengan gelar yang masyur/terkenal untuk dirinya. (Riyhadus Shalihin : 450-451)


Rabu, 25 Desember 2013

Al – Quran, Jangan Tukar Dengan Nyanyian.

Merasa khawatir kaum Quraisy akan terpesona oleh keindahan Al –Quran , si Kafir Abu Jahal meminta kepada Walid bin Mughirah untuk berkomentar miring tentang Al –Quran. Dia adalah raja penyair ketika itu, paling ahli dalam syair dan lagu. Baik syair jin maupun manusia. Tapi apa mau di kata, Walid justru tak sanggup menyembunyikan kekagumnnya terhadap Al – Quran. Ia berkata, “Apa yang bisa saya katakan..?” Lalu dia pun menggubah syair yang menyiratkan kehebatan dan ksempurnaan Al- Quran. Dari keindahan bahasa, kedalaman makna juga keagungan pesan yang terkandung di dalamnya.Pengakuan orang yang tetap tidak beriman karena khwatir akan jatuh pamornya di mata kaumnya yang kafir. Namun sayang, hari ini banyak kaum yang mengaku berimam justru tak lagi memandang takjud kepadanya, tak tertarik untuk menyimaknya, bahkan untuk sekedar  meliriknya. Pada saat bersamaan, mereka menjatuhkan pilihan pada nyayian murahan sebagai gantinya, yang tak layak di bandingkan dengan Al- Quran, terlebih menggatikan posisinya. Kebutuhan mereka akan nyanyian bahkan melebihi kebutuhan terhadap makan dan minum, . Tak Cukup hanya 3 kali sehari, hingga tidur pun dihantar nyayian.
Apa kiranya alasan mereka lebih enjoy mendengar nyayian daripada Al-Quran??? Lebih puas ketika mampu menghapal lagu daripada menghafal ayat-ayat Allah??? Karena keindahan bahasanya kah??? Demi Allah, tak ada bahasa yang mampu mengungguli keindahan Al –Quran. Atau karena isi lagu yang menyentuh??? Padahal ucapan sia-sia dan dusta bertaburan di dalamnya. Berbeda dengan kalamullah yang tak ada satu huruf pun yang sia- sia. Bertabur hikmah dan faedah tiada hingga. Dijanjikan pahala perhuruf bagi yang membacanya, apalagi yang mempelajari dan mengamalkannya. Adapun nyanyian dan lagu, apa yang bisa didapatkan darinya???
Tinggal satu alasan yang paling mungkin, mengapa mereka lebih memilih nyanyian daripada Al –Quran??? Yakni kendali hawa nafsu yang bertengger di hati dan pikiran mereka. Pengulangan sejarah teengah terjadi. Dahulu, orang –orang yang menyimpang berpaling dari Al- Quran yang di dakwahkan Nabi, lalu condong dan mengikuti para penyair yang suka mengumbar kata yang muluk-muluk, penghias bibir dan jauh dari realita yang mereka perbuat. Fenomena itu di abadikan kiahnya dalam Al- Quran.
“Dalam penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwanya mereka melihat mengembara di tiap-tiap lembah. Dan bahwanya mereka suka mengatakan apa yaang mereka sendiri tidak mengerjakannya?” (Q.S. Asy-Syu’raa : 224 – 226)
Bandingkan fenomena itu dengan realita hari ini, bukanlah nyaris sama dan sebangun?? Bedanya, road show dahulu dilakukan dari  lembah ke lemba, namun sekarang, dari kota le kota. Wallahu a’alam. (Abu Umar A)
Sumber : Majalah Islam Ar- Risalah
by : @destya11 (in twitter)

Menggali Warisan Nabi


Alunan surat Fushshilat yang di bacakan rasulullah sungguh memesona Abul Walid. Berlalu tanpa  sepatah kata pun terucap, dia segera kembali menemui kaum Quraisy yang tak sabar telah menunggu dalam gelisah. Kemudian sastrawan terkemuka itu beru , “itu buka syair, sihir, atau ucapan tukang tenung. Sesungguhnya Al- quran itu ibarat pohon rindang yang akarnya menghujam tanah. Susunan bahasanya manis dan enak. Itu bukan perkataan manusia, ia tinggi dan tidak ada yang akan mengatasinya”
Abul Walid menuturkan kesaksiannya akan keindahan gaya bahasa Al- Quran, meski hal itu menyakitkan hati kaum yang telah mengutusnya menemui Muhammad. Meski dia kafir, sentuhan ayat Al-Quran meluruhkan kesombongannya. Karen Al – Quran sejatinya adalah obat penawar yang komplit, mujarab, dan mengandungi banyak manfaat. Tidak ada obat yang semisal dari sisi Allah Ta’ala. Ialah sumber kekuatan, pelita dalam kegelapan, petunjuk, obat penawar, nasihat, berita gembira, rahmat, dan berkah bagi manusia. Ia mengangkat derajat suatu kaum dan menghinakan kaum yang lain.
Al- Quran bukanlah monumen mati. Catatan sejarah yang hanya layak disimpan, dilihat, dan dikunjungi setahun sekali kala  Ramadhan. Ia adalah monumen hidup sebab berbicara kepada jiwa. Menggetarkan hati, memberikan ruh dan menggerakkannya. Ia akan menambah keimanan bagi yang berinteraksi dengannya. Menjadikan nutrisi  bergizi bagi hati seluruh isinya. Namun sejujurnya, Al- Quran bukan lagi pusat perhatian kita, sebagaimana prediksi Nabi. Ia telah ditinggalkan manusia. Kita sibuk hingga waktu  untuk membacanya pun tiada. Atau kita telah membacakannya, namun tidak merenungi makna-maknanya. Atau membaca dan merenunginya, namun tidak mengamalkannya. Mestinya sebagai muslim kita malu, sebab tidak bisa sejujur Abul Walid yang notabene kafir.
Tapi bagaimana kita akan mengambil manfaat Al –Quran jika kita tidak pernah menyantapnya??? Atau mengerti kandungannya jika kita tidak pernah menyapa dan berbicara dengannya??? Sungguh, hiruk pikuk dunia dan hal-hal yang kita anggap ‘Lebih penting” menyita seluruh waktu milik kita. Aneka puisi dan syair, lagu dan senandung, fiksi dan film, permainan dan senda gurau, gosip, dan pembicaraan hampa, serta komentar dan pendapat manusia,ternyata lebih berarti bagi kita.
Mungkinkah semua ini karen hati kita memang telah telah tertutup sehingga gagal menangkap cahayanya, akal kitabeku sehingga gagal merenunginya, atau jiwa kita telah menyeleweng sehingga gagal merasakan nikmatnya???
Tidakkah kita yakin bahwa ia adalah satu-satunya petunjuk jalan lurus, sedang selainnya bengkok dan menyesatkan?
Ialah warisan Nabi terpenting yang harus kita buru! Keyakinan ini penting, sebab ia akan membangun benteng pertahanan dalam jiwa menghadapi gelombang kehidupan. Memberikan tenaga dalam upaya perburuan, juga santapan lezat saat kita kelaparan.
Sunggu, rongga dada yang hampa dari Al- Quran ibarat bangunan rusak, yang hanya akam menambah kerugian dunia dan akhirat.

Ya Allah, Izinkan kami menikmati warisan Nabi-Mu! J
by : @destya11 (in twitter)

Menumbuhkan Motivasi

Kita mengenal istilah al-himmah al ‘aaliyah (cita-cita tinggi) sebagai hal yang bisa menjadi motivator seorang untuk berbuat. Muhammad bin Ibrahim al-Hamd menjelaskan tetang al-himmah al-‘aaliyah sebagai niat yang jujur, tekad yang bulat lagi tinggi, dan keinginan yang mantap untuk memiliki sifat-sifat utama dan bebas dari sifat-sifat yang rendah. Didalam Al –Quran, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum, sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri meraka,” (Q.S. Ar- R’du :11). Sedang Rasulullah saw bersabda. “Ilmu itu di petoleh dengan belajar, dan kesantunan itu diperoleh dengan belajar santun. Barangsiapa yang mencari kebaikan, dia akan meraihnya. Dan barangsiapa memelihara dirinya dari keburukan, maka dia akan terpelihara.” (HR. Al Khatib)
Pentingnya Al Himmah al- ‘Aaliyah
Islam mencela manusia yaang rendah cita-cita hidupnya. Bodoh, bermalas-malasan di dunia, suka mengerjakan hal-hal yang remeh, tidak punya tujuan  hidup selain menurutkan hawa nafus, mementingka penampilan dan kecukupan bagi diri sendir, serta tidak peduli penderitaan orang lain.
Hatim at-Tha’i pernah bersyair : Allah mencela orang yag miskin yag cita-cita dan kemauan hidupnya sekedar pakaian dan kemauan hidupnya sekedar pakaian dan makanan dia melihat kelaparan sebagi penderitaan. Jika merasa kenyang, hatinya tidur pulas karena sedikit kemauannya.
Karena sesungguhnya, nilai manusia adalah hasil karyanya dalam hidupnya. Dan setiap manusia memiliki modal dan kesempatan yangs ama untuk berkarya. Kemudian masig-masing dari merekalah yang akan membentuknya menurut keinginan mareka sendiri-sendiri. Artinya, menjadi seorang yang memiliki akhlak luhur dan mulia serta berjiawa besar, menghabiskan waktu yang sama dengan mereka yang berakhlak buruk, terhina dan berjiwa kerdil. Semuanya berawal dari kemauan dan cita-cita yang tinggi. Hal yang bisa memotivasi seseorang dengan cambuk celaan saat dilanda kemalasan, menghalanginya untuk databg ke tempat-tempat hina, tidak menghindari kemuliaan serta mengarahkan seluruh tujuan hidupnya menuju puncak kemuliaan. Memenejer waktu dan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya. Bukankah banyak manusia yang tenggelam dalam nikmat sempat dan sehat? Juga, bukankah siapa yang menanam akan mengetam?
Bahwa menjadi manusia mulia yang bercita-cita tinggi akan menjalani kehidupan yang lebih sulit dan berat, serta penuh kepenatan tidak bisa dipungkiri. Namun, ibarat pahit yang menyembuhkan, segalanya kesulitan yang menghadang justru menjadikan hidup lebih dinmis, dan ampuh mengusir rasa bosan, gelisah, dan keluh kesah.
Ahmad Syauqi bersyair, Burung terbang dengan sayapnya, sedang manusia terbang dengan kemauannya.
Cara mencapainya.
Awalnya adalah Iman, utamanya kepada kehidupan akhirat. Ia akan menjadi bara apai yang menyala-nyala dalam hati manusia. Menggiringnya menuju pintu-pintu kebajiaka dan kemuliaan. Saat iman ini hilang melemah tau hilang, manusia tidak lagi peduli untuk meraihnya. Hilanglah berkah umur, ilmu, dan amal, karena hanya berorientasi kepada dunia.
Bagi seorang mukmin, imanlah yang akan menghantarkannya pada keinginan mendapatkan ridha Allah dan masuk surga. Keinginan tertinggi yang tidak ada pesaingnya. Sebab dunia – betapun manisnya – tidak berarti jika di bandingkan akhirat.Sehingga harus mengejar dunia, semuanya adalah wasilah (sarana) untuk menggapai kepentingan akhirat.
Mengetahui manfaat bermujadah meraih cita-cita yang tinggi adalah langkah berikutnya. Allah berfirman, “ Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya. Dan sungguh merugilah orang yang mengotori.” (Q.S. As- Syam : 9 -10), Ibnul Qayyim mengataan bahwa hal yang menyibukkan manusia adalah apa yang dianggapnya mulia dan bermanfaat. Maka barangsiapa gagal mengenali manfaatnya mangejar kemuliaan hidup, tentu gagal juga hidupnya. Dia hina, dan bahkan lebih hina memnjam istilah Al Quran dari binatag.
Selanjutnya adalah menentukan prioritas amal. Sebab bagaimanapun banyaknya pilihan dalam hidup tidak banyak kesempatan dan kemampuan yang kita miliki. Menegtahui prioritas amal akan memandu kita memilih amalan yang tepat dan tahapan mencapainya. Juga piliha-pilihan amal yang rasional sesuai kesanggupan. Ibnu Umar berkata, “Kami dilarang Rasulullah melakukan sesuatu di luar kesanggupannya.”
Iman kepada takdir secara proposional akan membangkitkan kemuliaan, harga diri, keberanian, kesabaran, dan berusaha menghadapi kesulitan. Ia akan mengharuskan  seorang hamba berusaha sekuat tenaga meruah realitas yang dihadapi, karena dia harus berbuat untuk merubahnya, serta tidak akan menyesaliapa yang telah lewat.
Rasulullah saw  bersabda, “Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Dan segala hal kebaikan di dalamnya. Maka perhatikan apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah bersikap lemah. Jika ada sesuatu menimpamu, janganlah berkata. ‘sekiranya aku melakukannya niscaya akan begini dan begitu’ Tapi katakankanlah, ‘itu dikehendaki Allah, dan apa yang di kehendaki-Nya pasti terjadi’” (HR. Muslim). Sehingga berargumen dengan takdir hanya diizinkan saat menghadapi musibah dan tidak diizinkan di luar itu.
Membaca kisah-kisah keteladana juga memberi banyak manfaat. Umat islam sepanjang sejarahnya tidak pernah sunyi dari tokoh-tokoh besar dan agung yang mencengangkan. Baik itu di bidang ilmu pengetahuan dan ibadah, jihad dan dakwah, pengorbanan dan kedermawanan, maupun bidang-bidang yang lain.
Kalau perlu kita bisa memilih kisah-kisah yang bukan kisah para nabi, agar kita tidak berkata, ‘mereka adalah manusia yang mendapat bimbingan Allah’. Juga bukan kisah para sahabat agar tidak mengatakan,’mereka terdidik oleh pendidik agung agung. Rasulullah saw. Kisah manusia biasa yang tertulis dengan tinta emas sejarah akan memberikan inspirasi kepada kita untuk  meneladani dan mengikuti jejak mereka.
Kurangi Makan dan Tidur.
Banyak makan dan tidur akan melemahkan jiwa, mengajak berbuat maksiat dan malas mengerjakan taat. Umar bin Khathtab berkata, “Barangsiapa banyak makannya, maka dia tidak akan menemukan kelezatan dalam berzikir kepadaAllah.” Beliau juga berkata,”Barangsiapa yang banyak tidur, maka dia akan mendapatkan keberkahan dalam umur”.
Ibnul Qayyim menambahkan, “Jika nafsu merasakan kenyang, maka ia bergerak, berguncang dan mengitari pintu-pintu syahwat. Sedang jika lapar, maka ia akan tenag, khusyu’ dan tunduk.” Menurut Luqman Hakim, kekenyangan akan membuat pikiran tertidur, hikmah menjadi bisu dan tubuh malas beribadah.
Belajar melawan nafsu adalah langkah berikutnya. Karena secara umum, nafsu berjalan menyelisihi kebenaran dan keutamaan. Ibnul Qayyim berkata,”Antara anda dengan orang-orang sukses ada bukit dan hawa nafsu. Mereka turun di belakangnya. Maka pendekkanlah masa singgah, niscaya anda akan sampai pada mereka.”
Berikutnya adalah mencari lingkungan yang memberi kesempatan berkembang berupa penghargaan kepada kemuliaan dan ketakwaan, adanya keteladanan dan motivator untuk malu jika rendah dan hina, serta terpacu  memperbaiki diri. Dalam hal ini kita harus berpaling dari orang-orang bodoh yang bisa mempengaruhi dan meracuni pikiran.
Manfaatkan Setiap Peluang
Peluang adalah kesempatan berharga yang harus dimanfaatkan. Banyak peluang yang hanya dataang sekali dalam hidup. Jika ia hilang, tidak dapat lagi digantikan. Memanfaatkan setip peluang yang ada menandakan kesungguhan dan keseriusan seseorang dalam mencapaai keinginannya.
Faktor yang juga penting adalah keberanian merubah kebiasaan buruk dan tidak efektif. Sebab banyak keinginan yang terkendala kebiasaan-kebiasaan yang tidak menunjang. Untuk itu jangan lupa selalu berdo’a kepada Allah yang memudahkan setiap kesulitan dan menguatkan setiap kelemahan. Bukankah kita pernah berdo’a agar di jadikan sebagai imamnya hamba-hamba yang bertaqwa.
Mari kita lihat kesungguhan manusia penghamba dunia yang telah bersungguh-sungguh mengejarnya, agar kita bisa memahami ucapan Imam as-Syaukani, “Jika demikian keadaan (Semangat) mereka dalam urusan-urusan duniawi yang cepat hilang dan mudah lenyap, maka bagaimana tidak demikian tuntutan orang-orang yang menuju kepada suatu yang lebih mulia, lebih luhur, lebih penting, lebig menilai, lebih bermanfaar dan lebih berfaidah?”
Kesimpulan

Benarlah hikmah yang mengatakan agar kita bercita-cita smpai kebulan, sebab jika meleset, paling tidak kita masih akan mendarat di awan. Sekali lagi, nilai kita adalah prestasi yang kita persembahkan bagi Allah dan sesama. Semoga kita bisa menjadi manusi yang bernilai. Wallahualam. J

Kelapangan Hidup

Dalamnya laut bisa di duga, luasnya angkasa bisa di terka. Namun, siapa yang tahu dalam dan luasnya dada manusia? Ia bisa menyempit saat berpaling dari Allah. Baik dari agama-Nya, dari mengamalkan ajaran-ajaran-Nya. Kemudian menyesakkan pemilik-Nya hingga sulit bernapas. Hingga hidup berubah menjadi siksaan dalam setiap tarikan nafas. Tapi ia juga bisa meluas melebihi samudra.
Iman kepada Allah kemudian mentauhid-Nya adalah sebab pertama. Dalam kebeningan dan kesuciannya, ia melapangkan dada. Bahkan hingga melebihi dunia seisinya. Iman, sebagaimanan sabda Rasulullah saw kepada Amru bin ‘Abasah, adalah sabar dan lapang dad. Sedang yang paling afdhal dari adalah kebaikan akhlak.
Dunia sejatinya hanya tempat persinggahan. Tempat menyelesaikan perbekalan, dan bukanlah tempat tinggal yang hakiki karena akan di tinggalkan. Bukankah manusia sebenarnya adalah musafir? Imanlah yang mengajari begitu.
Maka perolehan dunua dalam sedikitnya, dalam susah senangnya, dalam ringan beratnya adalah kelapangan bagi hamba beriman. Seluruhnya adalah kesempatan mengumpulkan bekal. Menggapai ridha Allah. Kelapangan bukanlah saat menyombongkan diri. Sedang kesempitan bukanlah saat marah kepada takdir Allah. Kemudian muaranya adalah kelalaian akan perjalanan.
Dengan seluruh keadaannya, seorang mukmin mencahayakan kalbunya dengan amal shalih. Dia tetaplah dermawan, murah hati, pemurah, malu, tawadh’, sabar, tidak mengganggu orang lain, pemaaf, ringan tangan, ringan hati, dan wajahnya berseri-seri. Dia membawa seluruh ambisinya ke satu arah saja. Yakni bertemu Allah, bahagia di akhirat dan damai di sisi-Nya. Seperti firman Allah dalam surat al-Jin ayat 16, “Dan bahwanya : jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).”
Baginya, mendendam kepada dunia, diri sendiri, orang lain maupun Allah adalah perbuatan sia-sia yang menguras energi. Karena dia harus membayar dendamnya dengan hati, daging, darah, perasaan, kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaanya. Hingga ia terasa sesak.
Hamba yang lapang dadanya, menjalani hidup tanpa keluh kesah karena kehinaan dunia. Tanpa persaingan kotor demi meraih kejayaan semunya. Dia sibuk dengan kebaikannya, sedang perolehan orang lain bagnya adalah seperti ungkapan al – Hasan, “ Dia mempunyai  urusan, sedang manusia lain, mempunyai urusan lain.”

Karena dia tidak pernah tahu apa yang terjadi besok, seluruh waktu terlalu sayang disia-siakan. Sesungguhnya, alangkah lapangnya hidup ini sebenarnya! (Wallahua A’lam)