Dalam
pandangan Islam seorang mukmin itu hanya ada dua jenis, qawiy atau kuat dan dha’if atau lemah. Ini
berlaku untuk umum, laki-laki maupun perempuan. Dan adalah Allah lebih
mencintai orang mukmin yang kuat daripada yang lemah. Maka berbahagialah orang-orang
yang beriman yang kuat.
Tetapi
tunggu dulu, yang di maksud kuat di sini bukanlah kekuatan jasmani. Memang
kekuatan jasmani penting, tetapi para pakar hadist sepakat bahwa orang beriman
yang lebih di cintai Allah adalah orang yang kuat dalam berpegang teguh kepada
tali Allah dan asanya yang utamanya adalah kehidupan di akhirat. Orang seperti
inilah orang yang kuat. Orang yang mampu bertahan saat menghadapi ujian
terberat dan tak pernah terbayangkan dalam kehidupannya. Orang seperti inilah
yang berani menanggug susahnya hidup, pedih-perihnya perjuangan, dan segala
resiko duniawai saat melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Yang Kuat versi an-Nawawi
Imam
an-Nawawi saat mensyarah “Seorang mukmin
yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada seoarang mukmin
yang lemah..” mengatakan, “Yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah keteguhan jiwa dan tertautnya
hati pada urusan akhirat. Maka seseorang yang memiliki sifat yang demikian akan
menjadi orang yang paling berani menghadapi musuh di medan jihad, paling cepat
menyahut seruan jihad dan segera berangkat ke medan laga. Orang dengan sifat
seperti ini juga akan tegar dan sabar saat beramar ma’ruf nahyi munkar, rela
menanggung kesulitan di jalan Allah senantiasa bersemangat untuk menunaikan
shalat, shiyam, dzikir, dan berbagai bentuk ibadah lainnya. Ia akan menjadi
orang yang paling rajin dan benar-benar menjaga semuanya.”
Berani Berkeyakinan
Aneh
jika ada seoarang muslim tidak berani alias takut berkeyakinan. Padahal
keyakinan seseorang tidak dapat diketahui oleh orang lain. Pun tidak ada orang
yang bisa memaksa orang lain dalam berkeyakinan. Paling-paling yang bisa
dilakukan adalah mempengaruhi. Itu saja.
Keberanian
dalam berkeyakinan-meyakini kebenaran Islam dan semua yang di ajarkan oleh
Rasulullah saw ini tidak bisa bisa di tawar dan tidak ada rukhshah atau
keringanan. Kalau pun di bilang ada, itu sekedar tampak luarnya saja. Seperti
sahabat Ammar bin Yasir yang mendapatkan keringanan untuk mengucapkan kata-kata
kufur, tetapi hati tempat bersemayamnya berkeyakinan yang benar. Allah
berfirman, “Barangsiapa yang kafir kepada
Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang
dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa),
akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan
Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Q.S. an-Nahl : 106)
Berani Berkata
Keberanian
berkata-kata dimulai keberanian mengikrarkan bahwa tiada yang berhak diibadahi
selain Allah dan bahwa dalam beribadah tersebut hanya mengikuti tata cara yang
di ajarkan Rasulullah. Sekarang di sini, di Indonesia, mengikrarkan dua kalimat
syahadat tidak banyak menimbulkan reaksi dari orang-orang sekitar (mungkin karena banyak yang berikrar sementara
ia tidak tahu konsekuensinya). Tetapi dulu Jazirah Arab, untuk mengikrarkannya
benar-benar diperlukan keteguhan hati dan keberanian prima. Kita bisa membaca
apa yang di alami oleh Bilal bin Rabah, keluarga Yasir, Mush’ab bin Umair, dan
sederet sahabat lain yang mesti membayar mahal ikrar mereka.
Selanjutkan
adalah keberanian untuk mengajak orang lain berpegang teguh kepada Islam. Untuk
ini selain diperlukan keberanian juga diperlukan bekal ilmu yang memadai. Ilmu
tentang Islam, Ilmu tentang bagaimana cara menyampaikannya, dan ilmu tentang
orang-orang yang di harapkan menerima Islam. Jangan sampai terjadi karena kita
tidak mengerti bagaimana cara terbaik mengajak suatu masyarakat untuk berpegang
teguh kepada keseluruhan Islam, mereka justru menolak atau bahkan menghalanginya
; padahal mereka adalah orang-orang Islam. Jika demikian adanya berarti mudarat
lebih besar daripada manfaat. Dan Islam datang untuk menegasikan mudarat sama
sekali, setidaknya meminimalkannya.
Berani Berbuat
Seperti
para sahabat yang turut serta dalam perang Badar, meski mereka tahu bahwa jumlah
mereka kurang dari sepertiga jumlah musuh, mereka pantang mundur dan menyerah.
Mereka yakin, jika mereka melaksanakan perintah Allah dengan sebaik-baiknya
Allah tidak akan menyia-nyiakan hidup mereka. Mereka pun tahu, jika mereka
terbunuh di medan laga, toh itu merupakan anugrah teragung yang mereka terima.
Seperti merekalah mestinya kita semua memiliki keberanian dalam melaksanakan
semua perintah Allah. Masih khawatir dengan hari esok??? Buruk sekali prasangka
kita kepada Allah, “Maka apakah prasangkamu terhadap Rabbul ‘alami? (Q.S.
Shaffat : 87)
Duh,
bagi seorang pemberani sejati, apalah artinya seluruh beban berat dan resiko
duniawi yang tiada sebanding dengan secuil nikmat abadi di Firdaus kelak???
Semoga
Allah menjadikan kita sebagai prang-orang yang kuat-berani, bukan orang yang
lemah-pengecut. Amin...
By
(@destya11 in Twitter)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar