Mungkin,kita
pernah atau sering merasa kecewa dan menyesal terhadap apa yang telah kita
lakukan. Baik karena perbuatan itu sebuah dosa dan maksiat, atau sebuah
kebiasaan buruk yang sejujurnya ingin kita hilangkan. Namun setiap kalinya, hal
itu terus terulang, dan kita terus merasa kecewa dan bersalah.
Pernahkah
kita ingin berhenti merokok, makan berlebihan, menggigit jari-jari kuku,
menunda pekerjaan atau mengulang pekerjaan atau mengulang perbuatan-perbuatan
lainnya yang ingin kita hentikan? Alih-alih berhenti, keinginan untuk
melakukannya mungkin malah semakit menguat.
Bukankah
ketika berada dalam ruangan yang penuh orang asing, kita merokok untuk mengusir
kegelisahan? Atau saat kita merasa stress, keinginan untuk makan banyak,
mungkin berlemak manis, menjadi sulit di tolak? Demikian pula hal-hal lain yang
terus berulang itu.
Sebenarnya,
tidak ada manusia yang terlahir dengan kondisi seperti ini, memiliki begitu
banyak kebiasaan buruk atau tidak efektif. Sebagaimana keahlian lain yang kita
pelajari dalam masa pertumbuhan seperti berbicara, makan dan berjalan,
kebiasaan-kebiasaan buruk juga kita pelajari dengan mengamati dan meniru orang
lain karena terlihat bagus dan baik. Sehingga kita merasa senang,tenang dan
nyaman saat mengulanginya.
Dalam
perkembangnnya, kebiasaan-kebiasaan yang sudah terbentuk, baik maupun buruk,
mengulang akan terus dipraktikkan meski alasan untuk melakukan tidak ada lagi.
Bahkan ketika tidak ada lagi model untuk ditiru dan mengajak melakukannya, atau
ketika ia tidak lagi mendatangkan perasaan nyaman.
Memang,
saat melakukannya dulu, kita mendapatkan rasa nyaman dan tenang. Dan itu
terekama dengan baik sebagai informasi di dalam otak kita. Sehingga setiap kali
kita menghadapi situasi yang sama, otak kita menyarankan dan mendorong kita
untuk melakukan tindakan-tindakan yang familiar bagi kita. Otak
menginformasikan bahwa tindakan-tindakan itulah yang terbaik untuk dilakukan
guna mengurangi ketidaknyamanan.
Pertanyaannya
sekarang adalah, Bagaimana cara mengatasinya?
Jawabnya
(InsyaAllah), menggunakan kekuatan otak kita. Berpikir dengan cara berbeda dan
merasakan hasilnya.
Marilah
kita perhatikan, kebiasaan-kebiasaan buruk kita yang selalu berulang,
sebenarnya karena kita tidak pernah (bersungguh-sungguh) ingin merubahnya. Kita
bahkan tidak mencoba merubah cara kita berpikir tentang hal itu. Sehingga kalau
tindakan-tindakan yang kita lakukan selalu sama, bagaimana hasilnya akan
berbeda? Kita bisa berubah, hanya tidak tahu caranya.
Padahal
jika kita berpikir dengan cara berbeda, hasil yang akan kita dapatkan juga akan
berbeda, sebab tindakan-tindakan yang kita pilihkan berbeda. Faktanya, cara
kita berpikir akan menentukan cara kita berkomunikasi dengan pihak lain dan
bertindak. Perbedaan pola pikir akan menyebabkan perbedaan tindakan-tindakan yang diambil, sehingga
hasil yang akan didapatkan juga berbeda.
Mungkin
kita belum tahu bahwa otak kita memiliki kekuatan dasyat yang bisa di
manfaatkan untuk merubah kehidupan kita. Penelitian para ahli malah menunjukkan
bahwa 96 % kekuatan otak ini masih di abaikan. Artinya, potensi otak manusia
yang pernah di teliliti terpakai hanya sekitar 4 % saja.
Kekuatan
otak ini ada dua, kekuatan berilmu dan kekuatan berkehendak. Dua kekuatan yang
seharusnya kita manfaatkan, bukan sekedar kita ketahui. Yang pertama kekuatan
berpikir, kekuatannya tergantung pada informasi (ilmu) yang masuk, pengalaman
dan cara berpikir. Sedang kekuatan berkendak tergantung pada yakin, sabar dan
keteguhan memegang prinsip.
Artinya,
semakin sedikit ilmu yang kita miliki, berarti semakin sedikit kemungkinan kita
menyadari kesalahan yang kita lakukan. Bukankah kesadaran akan kesalahan dari
kebiasaan-kebiasaan buruk kita itu, karena ilmu yang kita dapatkan belakangan
bahwa semua itu memang buruk adanya? Sedang mereka yang tidak berpendapat
hal-hal itu sebagai sesuatu yang buruk tentu saja tidak akan merubahnya. Maka
setiap kali kita berhenti mencari ilmu dan menggali informasi, berhenti pula
kekuatan otak kita menyodorkan pilihan yang lain di luar kebiasaan kita.
Demikian
juga, semakin sedikit pengalaman kebaikan yang kita dapatkan selama masa
pertumbuhan, semakin berat perjuangan yang kita butuhkan untuk berubah.
Bukankah kita sering gagal merasakan manisnya ibadah, semisal shalat dan
qiraatul Qur’an karena terlanjur dengan senda gurau dan permainan?
Setelah
pilihan berubah di tetapkan, tugas selanjutnya adalah mempertebal keyakinan,
keteguhan dan kesabaran. Sebab seringkali perubahan itu membutuhkan waktu yang
lama, menemukan hambatan yang tidak sedikit dan pilihan yang tidak populer.
Kesabaran
kita perlukan karena waktu yang dibutuhkan untuk berubah seringkali lama.
Keyakinan kita butuhkan guna mengatasi berbagai hambatan yang muncul, utamanya
perasaan tidak nyaman yang muncul dalam diri kita karena memulai kebiasaan-kebiasaan
baru.
Sedang
keteguhan kita perlukan guna mengatasi komentar orang lain yang tidak mendukung
perubahan itu, juga karena ia bukan pilihan yang populer. Bukankah hanya ikan
mati yang berenang mengikuti arus?
Langkah
selanjutnya segera memulai perubahan itu. Kita harus yakin bahwa hidup kita
akan berubah jika kita berubah, bukan saat orang lain yang berubah. Berpikir
positif bahwa kita mampu jika kita memang ingin berubah harus kita tanamkan
kuat-kuat. Sebab berpikir negatif dan pesimis hakikatnya adalah sabotase
terhadap diri kita sendiri.
Jangan
lupa, kekuatan berdo’a kepada Allah sebagai modal besar perubahan itu. Bukankah
hanya ridha-Nya yang kita inginkan? Bahkan kesadaran berubah itupun muncul saat
kita menyadari ada terlalu banyak hal tidak Dia ridhai dalam kehidupan kita,
yang karenanya kita ingin berubah? Kita yakin, Dia pasti menolong hambanya-Nya
yang bermujahan di jalan-Nya. Bismillah, mari kita coba!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar