Kita
mengenal istilah al-himmah al ‘aaliyah (cita-cita tinggi) sebagai hal yang bisa
menjadi motivator seorang untuk berbuat. Muhammad bin Ibrahim al-Hamd
menjelaskan tetang al-himmah al-‘aaliyah sebagai niat yang jujur, tekad yang bulat
lagi tinggi, dan keinginan yang mantap untuk memiliki sifat-sifat utama dan
bebas dari sifat-sifat yang rendah. Didalam Al –Quran, Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum, sehingga mereka merubah apa
yang ada pada diri meraka,” (Q.S. Ar- R’du :11). Sedang Rasulullah saw
bersabda. “Ilmu itu di petoleh dengan belajar, dan kesantunan itu diperoleh
dengan belajar santun. Barangsiapa yang mencari kebaikan, dia akan meraihnya.
Dan barangsiapa memelihara dirinya dari keburukan, maka dia akan terpelihara.”
(HR. Al Khatib)
Pentingnya Al Himmah al- ‘Aaliyah
Islam
mencela manusia yaang rendah cita-cita hidupnya. Bodoh, bermalas-malasan di
dunia, suka mengerjakan hal-hal yang remeh, tidak punya tujuan hidup selain menurutkan hawa nafus,
mementingka penampilan dan kecukupan bagi diri sendir, serta tidak peduli
penderitaan orang lain.
Hatim
at-Tha’i pernah bersyair : Allah mencela orang yag miskin yag cita-cita dan
kemauan hidupnya sekedar pakaian dan kemauan hidupnya sekedar pakaian dan
makanan dia melihat kelaparan sebagi penderitaan. Jika merasa kenyang, hatinya
tidur pulas karena sedikit kemauannya.
Karena
sesungguhnya, nilai manusia adalah hasil karyanya dalam hidupnya. Dan setiap
manusia memiliki modal dan kesempatan yangs ama untuk berkarya. Kemudian
masig-masing dari merekalah yang akan membentuknya menurut keinginan mareka
sendiri-sendiri. Artinya, menjadi seorang yang memiliki akhlak luhur dan mulia
serta berjiawa besar, menghabiskan waktu yang sama dengan mereka yang berakhlak
buruk, terhina dan berjiwa kerdil. Semuanya berawal dari kemauan dan cita-cita
yang tinggi. Hal yang bisa memotivasi seseorang dengan cambuk celaan saat
dilanda kemalasan, menghalanginya untuk databg ke tempat-tempat hina, tidak
menghindari kemuliaan serta mengarahkan seluruh tujuan hidupnya menuju puncak
kemuliaan. Memenejer waktu dan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya.
Bukankah banyak manusia yang tenggelam dalam nikmat sempat dan sehat? Juga,
bukankah siapa yang menanam akan mengetam?
Bahwa
menjadi manusia mulia yang bercita-cita tinggi akan menjalani kehidupan yang
lebih sulit dan berat, serta penuh kepenatan tidak bisa dipungkiri. Namun,
ibarat pahit yang menyembuhkan, segalanya kesulitan yang menghadang justru
menjadikan hidup lebih dinmis, dan ampuh mengusir rasa bosan, gelisah, dan
keluh kesah.
Ahmad
Syauqi bersyair, Burung terbang dengan sayapnya, sedang manusia terbang dengan
kemauannya.
Cara
mencapainya.
Awalnya
adalah Iman, utamanya kepada kehidupan akhirat. Ia akan menjadi bara apai yang
menyala-nyala dalam hati manusia. Menggiringnya menuju pintu-pintu kebajiaka
dan kemuliaan. Saat iman ini hilang melemah tau hilang, manusia tidak lagi
peduli untuk meraihnya. Hilanglah berkah umur, ilmu, dan amal, karena hanya
berorientasi kepada dunia.
Bagi
seorang mukmin, imanlah yang akan menghantarkannya pada keinginan mendapatkan
ridha Allah dan masuk surga. Keinginan tertinggi yang tidak ada pesaingnya.
Sebab dunia – betapun manisnya – tidak berarti jika di bandingkan akhirat.Sehingga
harus mengejar dunia, semuanya adalah wasilah (sarana) untuk menggapai
kepentingan akhirat.
Mengetahui
manfaat bermujadah meraih cita-cita yang tinggi adalah langkah berikutnya.
Allah berfirman, “ Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya. Dan
sungguh merugilah orang yang mengotori.” (Q.S. As- Syam : 9 -10), Ibnul Qayyim
mengataan bahwa hal yang menyibukkan manusia adalah apa yang dianggapnya mulia
dan bermanfaat. Maka barangsiapa gagal mengenali manfaatnya mangejar kemuliaan
hidup, tentu gagal juga hidupnya. Dia hina, dan bahkan lebih hina memnjam
istilah Al Quran dari binatag.
Selanjutnya
adalah menentukan prioritas amal. Sebab bagaimanapun banyaknya pilihan dalam
hidup tidak banyak kesempatan dan kemampuan yang kita miliki. Menegtahui
prioritas amal akan memandu kita memilih amalan yang tepat dan tahapan
mencapainya. Juga piliha-pilihan amal yang rasional sesuai kesanggupan. Ibnu
Umar berkata, “Kami dilarang Rasulullah melakukan sesuatu di luar
kesanggupannya.”
Iman
kepada takdir secara proposional akan membangkitkan kemuliaan, harga diri,
keberanian, kesabaran, dan berusaha menghadapi kesulitan. Ia akan
mengharuskan seorang hamba berusaha
sekuat tenaga meruah realitas yang dihadapi, karena dia harus berbuat untuk
merubahnya, serta tidak akan menyesaliapa yang telah lewat.
Rasulullah
saw bersabda, “Mukmin yang kuat lebih
dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Dan segala hal kebaikan di dalamnya.
Maka perhatikan apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah,
dan janganlah bersikap lemah. Jika ada sesuatu menimpamu, janganlah berkata.
‘sekiranya aku melakukannya niscaya akan begini dan begitu’ Tapi katakankanlah,
‘itu dikehendaki Allah, dan apa yang di kehendaki-Nya pasti terjadi’” (HR.
Muslim). Sehingga berargumen dengan takdir hanya diizinkan saat menghadapi
musibah dan tidak diizinkan di luar itu.
Membaca
kisah-kisah keteladana juga memberi banyak manfaat. Umat islam sepanjang
sejarahnya tidak pernah sunyi dari tokoh-tokoh besar dan agung yang
mencengangkan. Baik itu di bidang ilmu pengetahuan dan ibadah, jihad dan
dakwah, pengorbanan dan kedermawanan, maupun bidang-bidang yang lain.
Kalau
perlu kita bisa memilih kisah-kisah yang bukan kisah para nabi, agar kita tidak
berkata, ‘mereka adalah manusia yang mendapat bimbingan Allah’. Juga bukan kisah
para sahabat agar tidak mengatakan,’mereka terdidik oleh pendidik agung agung.
Rasulullah saw. Kisah manusia biasa yang tertulis dengan tinta emas sejarah
akan memberikan inspirasi kepada kita untuk
meneladani dan mengikuti jejak mereka.
Kurangi
Makan dan Tidur.
Banyak
makan dan tidur akan melemahkan jiwa, mengajak berbuat maksiat dan malas
mengerjakan taat. Umar bin Khathtab berkata, “Barangsiapa banyak makannya, maka
dia tidak akan menemukan kelezatan dalam berzikir kepadaAllah.” Beliau juga
berkata,”Barangsiapa yang banyak tidur, maka dia akan mendapatkan keberkahan
dalam umur”.
Ibnul
Qayyim menambahkan, “Jika nafsu merasakan kenyang, maka ia bergerak, berguncang
dan mengitari pintu-pintu syahwat. Sedang jika lapar, maka ia akan tenag,
khusyu’ dan tunduk.” Menurut Luqman Hakim, kekenyangan akan membuat pikiran
tertidur, hikmah menjadi bisu dan tubuh malas beribadah.
Belajar
melawan nafsu adalah langkah berikutnya. Karena secara umum, nafsu berjalan
menyelisihi kebenaran dan keutamaan. Ibnul Qayyim berkata,”Antara anda dengan
orang-orang sukses ada bukit dan hawa nafsu. Mereka turun di belakangnya. Maka
pendekkanlah masa singgah, niscaya anda akan sampai pada mereka.”
Berikutnya
adalah mencari lingkungan yang memberi kesempatan berkembang berupa penghargaan
kepada kemuliaan dan ketakwaan, adanya keteladanan dan motivator untuk malu
jika rendah dan hina, serta terpacu memperbaiki diri. Dalam hal ini kita harus
berpaling dari orang-orang bodoh yang bisa mempengaruhi dan meracuni pikiran.
Manfaatkan
Setiap Peluang
Peluang
adalah kesempatan berharga yang harus dimanfaatkan. Banyak peluang yang hanya
dataang sekali dalam hidup. Jika ia hilang, tidak dapat lagi digantikan.
Memanfaatkan setip peluang yang ada menandakan kesungguhan dan keseriusan
seseorang dalam mencapaai keinginannya.
Faktor
yang juga penting adalah keberanian merubah kebiasaan buruk dan tidak efektif.
Sebab banyak keinginan yang terkendala kebiasaan-kebiasaan yang tidak
menunjang. Untuk itu jangan lupa selalu berdo’a kepada Allah yang memudahkan
setiap kesulitan dan menguatkan setiap kelemahan. Bukankah kita pernah berdo’a
agar di jadikan sebagai imamnya hamba-hamba yang bertaqwa.
Mari
kita lihat kesungguhan manusia penghamba dunia yang telah bersungguh-sungguh
mengejarnya, agar kita bisa memahami ucapan Imam as-Syaukani, “Jika demikian
keadaan (Semangat) mereka dalam urusan-urusan duniawi yang cepat hilang dan
mudah lenyap, maka bagaimana tidak demikian tuntutan orang-orang yang menuju
kepada suatu yang lebih mulia, lebih luhur, lebih penting, lebig menilai, lebih
bermanfaar dan lebih berfaidah?”
Kesimpulan
Benarlah
hikmah yang mengatakan agar kita bercita-cita smpai kebulan, sebab jika
meleset, paling tidak kita masih akan mendarat di awan. Sekali lagi, nilai kita
adalah prestasi yang kita persembahkan bagi Allah dan sesama. Semoga kita bisa
menjadi manusi yang bernilai. Wallahualam. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar