Jumat, 27 Desember 2013

Serapuh Hati Tanpa Keyakinan (Cerpen)

“Assalamualaikum”.
Kujabat tangan akhwat karibku satu persatu. Tidak ada yang mau ketinggalan jam pertama pagi ini, takut sama dosennya yang killer. “Reva kemana, kok belum hadir?” tanyaku. Tapi tidak ada yang tahu. Biasanya jika diantara kami tidak hadir kuliah selalu memberikan informasi pada yang lain.
Jama delapan tepat, dosen masuk dan langsung memberikan kuliah. Suasana kelas pun berubah. Semua mata tertuju pada layar proyektor, meski ada yang sambil berjuang menahan kantuk. Sementara konsentrasiku sedikit terganggu dengan perasaan yang bertanya-tanya. Kepada Reva???
Kami adalah sembilan bersahabat. Di atas jalan-Nya Kami bersaudara dan bertekad menyempurnakan ketaatan. Alhamdulillah, Allah Ta’ala menunjuki kami pada akidah dan manhaj salafush shalih. Kami berusaha untuk melazimkan sunnah dalam keseharian. Banyak yang mengatakan kami eksklusif dan ekstrim. Mereka memandang sinis pada kami karena pakaian dan cara pergaulan kami. Ada saja sindiran melecehkan. “Awas, manusia kelelewar leawat!” atau “Bau surga nih!”, dengan es-be. Ya...mungkin inilah resiko jika ingin berkomitemen dengan syariat. Lagian boleh jadi karena mereka belum paham. Kami berusaha sabar dan sebisa mungkin menjelaskan terutama kepada mahasiswi yang mengaku muslim tetapi memilih ‘gaul’ dalam berperilaku dan berpakaian.
Dua jam kuliah berlalu, tak banyak waktu terbuang dari awal sampai akhir. Soal paham atau tidak, itu masalah lain. Ya... begitulah mungkin standar dan gaya pendidikan kita. Yang penting target beban silabus terpenuhi, Selesai! Kelas tanpa hati..! Mahasiswa berhamburan keluar, padahal dosen belum beranjak mengemasi bahan kuliah yang baru sampai di sampaikan. Seperti biasanya, kami memilih keluar terakhir agar tak perlu berdesakan. Setelah semua keluar, di barisan kursi bagian depan ada sesosok wanita berjubah serba gelap lengkap dengan cadar. Mungkin dia tadi masuk kelas agak mepet dengan waktu mulai jam kuliah. Kami menduga dia adalah senior yang mengulang mata kuliah. Terdorong ingin menyapa, saya menghampirinya.
“Assalamualaikum, ukty” Sapaku sambil menjabat tangannya/
“Waalaikumsalam warahmatullah.” Jawabnya.
Saya mencoba memperhatikan matanya, siapa tahu saya bisa mengenali wajah di balik cadar itu.” “Kenapa, ukhty? Kaget ya? Saya Reva. Lho.”,katanya.
Spontan saya kaget bukan main.
“Betul, Kamu Reva?”, tanyaku hampir tak percaya.
Dengan lembut ia menganggukkan kepala. Saat itu saya langsung memeluknya sambil tak henti mengucapkan syukur dan memuji Allah Ta’ala. Tak terasa air mata mengalir membasahi jilbabnya. Sahabatku yang lain ikut menangis dan turut memeluknya.
Reva berbisik lirih , “Doakan ya ukty, agar saya istiqamah selalu”
“Amin...Insya Allah!, jawabku.
Reva yang cukup pandai berargumen jika berdiskusi mengenai islam, walaupun jawaban-jawabannya lebih sering dilandasi pendapat akalnya, Reva yang saya kenal sebagai mutarabbi salah satu liqo’ di sebuah jama’ahnya terdahulu, Reva yang di abtara kami ber-sembilan, dialah yang masih cenderung bebas dalam bergaul dan berpakaian, Reva yang terbiasa dan longgar dalam bergaul dengan lawan jenis, saat ini dia telah berubah. Ia menjelma menjadi seorang akhwat yang rajin mengikuti ta’lim dan kegiatan dAkwah lainnya.
Waktu berlalu beberapa minggu, Reva semakin dekat denganku. Ia sering mabit di kostku dan sering curhat tentang keadaannya. Kami saling menasehati dan memberi dorongan satu sama lain untuk tetap istiqamah. Kami selalu berusaha hadir bersama dalam kajian, seminar, bedah buku, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Setiap ada informasi kegiatan, kami selalu ingin menjadi yang pertama hadir di majelis-majelis tersebut. Kami seperti orang yang kehausan ilmu, dan yang demikian makin mempererat hubungan kami.
Selang beberapa minggu kemudian, Reva tambah sering menginap di kost saya. Reva datang dengan membawa cerita-cerita tentang keadaannya semenjak ia memakai pakaian syar’i.. Ternyata  keluarga dan kerabatnya menolak keras pilihannya. Menurut mereka, pakaian seperti itu identit dengan apa yang mereka sebut “Teroris”. Sejak keluarganya tahu, semua biaya hidup dan kuliahnya di hentikan. “Sabar ya Ukty, kemudahan pastikan datang. Ujia tak kan selamanya. Hanya sekejap kemudian lewat, jika saja kita tetap bertahan. Jangan pernah menyerah!”, Saya mencoba menasehatinya. Untuk beberapa hari kemudian, Reva masih bertahan.
Pada malam berikutnya Reva datang lagi dan menyatakan ingin tinggal di kost untuk beberapa hari. Ia mengatakan sudah tak punya uang lagi. Jangankan kuliah, sedangkan untuk makan saja sudah tiada yang tersisa. Saya tidak menyangka ada orangtua yang setega itu.
“Untuk apa saya berpakaian begini, kalau saya harus mati kelaparan. Lagian gara-gara pakaian ini, saya tidak bisa pergi ke tempat-tempatyang saya senangi, pergaulanku jadi terbatas, kuliahku terhambat, dan segala macam kesulitan harus saya tanggung!”jawabnya setelah mendengar nasihat saya. Tidak saya sangka ia kan berkata seperti itu.
“Astaufirullah..., beristighfarlah ukhty atas apa yang barusan kau ucapkan. Ini semua adalah ujian dari Allah. Sabarlah! Innanashrallahi qariib!” Saya berusaha menasehatinya lagi.
“Hah, persetan dengan semua itu, buktinya mana pertolongan Allah?  Mana kemudahan yang di janjikan Allah?” Katanya dengan mata memerah. Emosinya semakin tak terkendali, hampir saja hali itu juga memancing emosi saya. Tapi saya berusaha untuk tetap bersabar menghadapinya. Sampai akhirnya kami tidur dengan membawa pikiran masing-masing.
“Benarkah yang di depan pandanganku itu adalah Reva?” dalam hati saya bertanya. Saya usap mata berkali-kali. Dari kejauhan ia nampak menggunakan pakaian yang ketat dan seronok. Benar, ia adalah Reva. Tapi di man gerangan pakain syarinya kemarin. Bahkan bekasnya sudah tidak keliatan lagi. Hampir saja saya tak percaya yang di depanmataku adalah Reva, sahabat yang sangat kusayangi di atas jalan Allah ini. Saya coba mengingatkan lagi, tapi justru umpatan kembali berhamburan dari lisannya. Sejak saat itu ia semakin jauh dariku.
Hari demi hari saya saksikan bagaimana Reva sekarang. Selalu terbayang semua kenangan yang pernah kami lalui. Saat-saat bermajelis bersama, saat-saat menghadiri kegiatan keislaman bersama-sama, saat-saat berdiskusi bersama,curhat...semua itu tinggal kenangan. Entah sekarang, dia sibuk di mana dan dengan siapa. Saya hanya bisa bergarap, semoga Allah mengembalikan Reva ke atas jalan-Nya.

Ya Allah, Engkaulah dzat yang membolak-balikkan hati. Tetapkan hati ini dalam agama-Mu, dan berilah kami kekuatan agar bisa istiqamah dalam agama-Mu. Dan janganlah Engkau cabut hidayah ini. Karena jika Engkau mencabutnya, maka pastilah hamba menjadi orang yang sangat merugi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar