Dalamnya
laut bisa di duga, luasnya angkasa bisa di terka. Namun, siapa yang tahu dalam
dan luasnya dada manusia? Ia bisa menyempit saat berpaling dari Allah. Baik
dari agama-Nya, dari mengamalkan ajaran-ajaran-Nya. Kemudian menyesakkan
pemilik-Nya hingga sulit bernapas. Hingga hidup berubah menjadi siksaan dalam
setiap tarikan nafas. Tapi ia juga bisa meluas melebihi samudra.
Iman
kepada Allah kemudian mentauhid-Nya adalah sebab pertama. Dalam kebeningan dan
kesuciannya, ia melapangkan dada. Bahkan hingga melebihi dunia seisinya. Iman,
sebagaimanan sabda Rasulullah saw kepada Amru bin ‘Abasah, adalah sabar dan
lapang dad. Sedang yang paling afdhal dari adalah kebaikan akhlak.
Dunia
sejatinya hanya tempat persinggahan. Tempat menyelesaikan perbekalan, dan
bukanlah tempat tinggal yang hakiki karena akan di tinggalkan. Bukankah manusia
sebenarnya adalah musafir? Imanlah yang mengajari begitu.
Maka
perolehan dunua dalam sedikitnya, dalam susah senangnya, dalam ringan beratnya
adalah kelapangan bagi hamba beriman. Seluruhnya adalah kesempatan mengumpulkan
bekal. Menggapai ridha Allah. Kelapangan bukanlah saat menyombongkan diri.
Sedang kesempitan bukanlah saat marah kepada takdir Allah. Kemudian muaranya
adalah kelalaian akan perjalanan.
Dengan
seluruh keadaannya, seorang mukmin mencahayakan kalbunya dengan amal shalih.
Dia tetaplah dermawan, murah hati, pemurah, malu, tawadh’, sabar, tidak
mengganggu orang lain, pemaaf, ringan tangan, ringan hati, dan wajahnya
berseri-seri. Dia membawa seluruh ambisinya ke satu arah saja. Yakni bertemu
Allah, bahagia di akhirat dan damai di sisi-Nya. Seperti firman Allah dalam
surat al-Jin ayat 16, “Dan bahwanya : jikalau mereka tetap berjalan lurus di
atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka
air yang segar (rezki yang banyak).”
Baginya,
mendendam kepada dunia, diri sendiri, orang lain maupun Allah adalah perbuatan
sia-sia yang menguras energi. Karena dia harus membayar dendamnya dengan hati,
daging, darah, perasaan, kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaanya. Hingga ia
terasa sesak.
Hamba
yang lapang dadanya, menjalani hidup tanpa keluh kesah karena kehinaan dunia.
Tanpa persaingan kotor demi meraih kejayaan semunya. Dia sibuk dengan
kebaikannya, sedang perolehan orang lain bagnya adalah seperti ungkapan al –
Hasan, “ Dia mempunyai urusan, sedang
manusia lain, mempunyai urusan lain.”
Karena
dia tidak pernah tahu apa yang terjadi besok, seluruh waktu terlalu sayang
disia-siakan. Sesungguhnya, alangkah lapangnya hidup ini sebenarnya! (Wallahua
A’lam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar