Hidup
adalah untuk beribadah, kita mengerti itu. Kepada Allah saja, tanpa bagi ‘apa
atau siapa’ selain-Nya. Sebab dia Esa yang tidak membutuhkan sekutu dalam
segala hal. Dia berfirman, “Aku tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan
sebuah amalan dengan mempersekutukan selain-Ku padanya, maka amalan itu bagi
yang dia persekutukan. Dan Aku berlepas diri daripadanya.” (Hadis Qudsi Ibnu
Majah : 4192)
Maka
kemudian Dia wajibkan ke keikhlasan sebagai syarat penerimaan amal shalih. Dia
inginkan ketaatan dan ketudukan kita yang bersih dan murni. Terbebas dari semua
kotoran dan tendensi pembelok arah penghambaan. Dia akan melihat siapa di
antara kita yang benar-benar ingin menyembah-Nya. Mempersembahkan amalan
terbaik yang paling benar dan paling ikhlas.
Namun,
sungguh sulit nian! Sebab tidak ada amalan tanpa niat. Sedang setiap kita
ingin, sedang dan telah bertaubat, batin kita selalu berperang. Lezatnya
puja-puji, penghargaan- meski sekedar ucapan terimakasih dan penerimaan
manusia, sering melenakan kita untuk tergesa mencari hasil dalam beramal.
Kemudian kita melakukan amalam riya’ sebab merindu kekuasaan, kedudukan dan
harta. Sedang hati kita masih saja penuh penyakit. Terseok-seok memayahkan diri
di dunia, sedang akhirat menyediakan siksa.
Alangkah
beratnya! Sebab, seperti nasihat Utsman bin ‘Affan, Ikhlas adalah melihat
penglihatan Allah dan bukan yang lain. Sedang Allah melihat hati kita, bukan
penampilan dan wujud fisik yang menawan. Fudhail bin Iyadh berkata, “Sesungguhnya,
yang diinginkan Allah darimu adalah niat dan keinginanmu. “ Sahl bin Abdillah
at-Tasturi menyebut ikhlas sebagai amalan yang paling berat. Alasannya, sebab
hati tidak mendapatkan bagian.
Ikhlas
adalah jalan keselamatan, pembebas hati dari ibadah ritual yang memenjarakan
fisik, sebab ia adalahnya ruhnya. Bukankah banyak yang berpuasa dan shalat
malam fisik mereka, namun tidak beroleh apa-apa selain lapar, dahaga dan
berjaga-jaga? Atau darah-darah dan daging binatang korban yang tidak sampai
kepada Allah, meski manusia banyak berdecak menyaksikannya? Sebab yang akan
sampai adalah takwa kita, sedang takwa ada di dalam hati!
Hamba
yang mengharap ridha Allah, akan melihat manusia lain seperti penghuni kubur
yang tidak memberi manfaat dan madharat. Suara-suara mereka kalaulah ada
meskinya tidak menakutkan, sehingga mempengaruhi niat awal hamba saat berbuat.
Suara-suara yang mungkin menggemakan kebencian. Namun, bukankah Allah telah
berfirman, “ Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun
orang-orang kafir tidak menyukainya,” (Q.S. Al-Mukmin : 14)
Sungguh,
keikhlasan adalah rahmad Allah bagi hamba pilihan. Persoalannya, siapa yang
akan menyambutnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar